BATAK NETWORK - Catatan: Uraian ini panjang-lebar. Silakan meluangkan waktu dan menyiapkan pikiran yang jernih dan tenang untuk membacanya. Jangan asal gusar, lalu berkomentar.
Ilustrasi: Memberi Persembahan (Foto: Net) |
Salah satu hal yang mengganggu benak saya: Kenapa tidak sedikit orang yang malah gusar ketika diperhadapkan pada gagasan bahwa orang Kristen, orang percaya dalam era Perjanjian Baru, tidak perlu lagi membayar persepuluhan? Kenapa kabar yang semestinya memerdekakan ini malah membuat sebagian orang tersinggung?
Jika disederhanakan kira-kira begini. Dalam era Perjanjian Lama (PL), persepuluhan adalah bagian tak terpisahkan dari paket hukum Taurat di bawah imamat Lewi, suatu kewajiban yang harus dijalani oleh bangsa Israel. Mereka yang taat akan memperoleh berkat; mereka yang tidak taat akan terkena kutuk laknat.
Dalam era Perjanjian Baru (PB), yang dimulai dari pencurahan darah dan kematian Yesus Kristus di kayu salib, dimulai pula sebuah imamat baru, imamat yang rajani. Alih-alih hukum Taurat, Allah mencurahkan kasih karunia demi kasih karunia. Alih-alih menuntut umat-Nya dengan berbagai kewajiban agama, Allah mengundang kita untuk menjalin hubungan pribadi dengan Dia, hubungan antara Bapa dan anak-anak kesayangan-Nya: menyambut dan merayakan kasih-Nya serta hidup oleh kasih-Nya itu--mengasihi sesama sebagaimana Dia mengasihi kita. Kita diberkati dan dibenarkan bukan karena ketaatan kita, melainkan karena penebusan Kristus. Kita tidak lagi berada di bawah ancaman kutuk; sebaliknya, di dalam Kristus, Dia "telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam surga." Kita dibenarkan dan dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya. Dia mengasihi kita dengan kasih yang kekal: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." Jika kita tidak taat, kita tidak lagi kena kutuk laknat. Sebaliknya, Dia akan mendisiplinkan kita sebagai Bapa yang penyayang. Pendisiplinan-Nya itu untuk kebaikan, pemulihan, dan pendewasaan kita, bukan untuk menghancurkan dan membinasakan kita. Allah turut bekerja dalam segala aspek kehidupan kita bukan untuk mendatangkan kecelakaan, melainkan untuk mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan.
Alangkah radikalnya perbedaan antara PL dan PB!
Perubahan ini tentu berdampak pula dalam hal pemberian atau persembahan finansial. Tidak ada lagi persembahan wajib. Tidak ada lagi persembahan minimal. Dan, terlebih lagi, tidak ada lagi embel-embel motivasi berkat atau intimidasi kutuk dalam persembahan.
Lalu, apakah kita lalu jadi pelit dan kikir? Tidak perlu memberi sama sekali? Justru sebaliknya! Kita diundang untuk memberi menurut apa yang ada pada kita. Kita diundang untuk memberi dengan sukarela. Kita diundang untuk memberi dengan penuh sukacita. Kita diundang untuk memberi dengan penuh rasa syukur. Kita diundang untuk kaya dalam kemurahan hati! Bukan memberi karena mengharapkan imbalan berkat berlipat ganda. Bukan memberi agar terhindar dari ancaman kutuk laknat. Melainkan, memberi dengan murah hati karena Allah sudah terlebih dahulu dan akan senantiasa bermurah hati kepada kita, melimpahi kita dengan kasih karunia demi kasih karunia.
Nah, bukankah itu konsep persembahan yang lebih tinggi daripada pesepuluhan? Lebih mulia? Namun, mengapa tidak sedikit orang malah gusar dan tersinggung ketika dinyatakan bahwa kita tidak perlu lagi memberikan persepuluhan dan diundang untuk memberikan persembahan sukarela? Bukankah itu seharusnya merupakan warta gembira yang memerdekakan?
Jika yang gusar dan tersinggung adalah pihak yang dengan cara tertentu mendapatkan keuntungan dari persepuluhan--yah, bagaimana lagi, saya tidak akan membahasnya di sini.
Yang membuat saya heran, orang-orang yang diwajibkan untuk membayar persepuluhan pun tidak sedikit yang gusar dan tersinggung ketika diberi tahu bahwa persepuluhan itu tidak perlu dilakukan lagi.
Beberapa dalih yang lumayan sering saya simak: "Saya memberikan persepuluhan karena iman." (Suatu kewajiban tidak perlu diimani, bro, cukup ditaati.) "Saya memberikan persepuluhan karena saya mengasihi Tuhan." (Hm, kalau kamu mengasihi, mengapa melakukan kewajiban yang mengandung ancaman? Kasih melenyapkan ancaman.) "Saya memberikan persepuluhan untuk membuktikan Ketuhanan Yesus atas hidup saya, bahwa Dialah yang utama dalam hidup saya, dimulai dari keuangan saya." (Hm, kalau utama, mengapa hanya sepersepuluh?) "Kalau kepada pemerintah saja kita membayar pajak, masak kita keberatan membayar persepuluhan kepada Tuhan?" (Jadi, sampean menyamakan pemerintahan manusia dengan pemerintahan Allah?)
Dalih-dalih itu, jika dicermati, berangkat dari pola pikir PL. Kitalah yang memegang beban dan tanggung jawab untuk membuktikan kesalehan kita--dengan ketaatan, dengan membayar persepuluhan, dan sebagainya. Kita lupa bahwa segala kesalehan kita itu seperti kain kotor. Kita lalai bahwa kita bukan dibenarkan oleh perbuatan saleh kita, melainkan oleh pembenaran melalui karya keselamatan Kristus--satu kali untuk selama-lamanya. Kita merasa dituntut untuk terus-menerus menunjukkan kasih kita kepada Allah. Kita lalai bahwa Allahlah yang terus-menerus mengasihi kita dengan kasih yang kekal, dan kita tinggal menerima, menikmati, dan merayakannya. Kita alpa bahwa Allah adalah Bapa yang memperlakukan kita sebagai anak-anak kesayangan-Nya.
Mungkin gambaran duniawi ini bisa mencerahkan kita. Dalam hubungan yang wajar antara seorang ayah dan anak: Seberapa keras seorang anak harus menunjukkan kasihnya--dengan melalukan berbagai kewajiban--kepada sang ayah? Seberapa keras seorang anak harus membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh anak sang ayah? Adakah ayah yang menuntut anaknya "membayar persepuluhan" (apa pun bentuknya) kepadanya?
Namun, bukankah kita perlu berlatih untuk taat? O, iya. Betul. Setuju sekali. Akan tetapi, ada perbedaan yang amat tajam antara (1) berlatih taat untuk menghindari hukuman atau kutukan dan (2) berlatih taat sebagai bagian dari proses pembelajaran, pertumbuhan, dan pendewasaan karakter. Persepuluhan mengandung ancaman hukuman bagi yang tidak taat, maka persepuluhan bukan alat yang tepat sebagai sarana untuk berlatih ketaatan.
Jika dirunut lebih jauh, dalih-dalih itu berakar pada pola pikir pemberontakan manusia di Taman Eden, yang diawali dari ketidakpercayaan kepada karakter Allah. Tampaknya kita tidak sungguh-sungguh percaya bahwa ALLAH ITU SUNGGUH-SUNGGUH BAIK. Benarkah Allah mengasihi kita secara cuma-cuma, tanpa menuntut kita melakukan sesuatu sebagai balasannya? Benarkah Allah memberkati dan melindungi kita tanpa terkecuali? Bukankah Allah mengirimkan gempa bumi dan tsunami dan kebangkrutan kepada orang-orang jahat? Bukankah kita harus hidup kudus agar terhindar dari murka Allah? Kita merasa masih harus melakukan kewajiban tertentu, baru Allah akan mengasihi, memberkati, dan melindungi kita (dari belalang pelahap atau monster-monster setan belang lainnya). Kita tidak sungguh-sungguh yakin bahwa Allah itu Mahabaik dan tidak pernah berbuat jahat, bahkan kepada musuh-musuh-Nya. Bahwa Dia menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Kita tidak sungguh-sungguh yakin bahwa "setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang." Kita menganggap Allah itu gampang gusar dan tersinggung bilamana kita lalai melakukan kewajiban-kewajiban kita kepada-Nya. Singkatnya, kita mempertanyakan kebaikan Allah.
Sebaliknya, lagi-lagi, kita meletakkan diri kita sebagai pemegang kontrol. Jika kita berbuat begini, Allah akan melakukan ini. Jika kita berbuat begitu, Allah akan melakukan itu. Kita yang mengontrol karakter Allah. Dan, kita sedang menciptakan Allah menurut rupa dan gambar kita.
What an insult to His character!
Penulis: Arie Saptaji
Sumber: Facebook
Thanks for reading & sharing FACE BATAK
0 komentar:
Posting Komentar